Postingan saya kali ini mungkin akan dicemooh beberapa pihak. Mungkin juga akan dikritik keras. Tapi yah, saya hanya ingin bercerita.
Sebelum cerita terlalu jauh, saya juga mau klarifikasi bahwa sejujurnya saya bukan anak yang alim alim banget. Masih banyak sekali akhlak dan ibadah saya yang harus diperbaiki. Pengalaman kuliah dan berbagai kegiatan kampus membuat saya menjadi orang yang yaah cukup toleran deh. Saya pernah bekerja/bermain dengan orang-orang dari beragam ras, suku, agama, usia, negara, dll. Jadi yaah menurut saya semua orang itu sama.
Sebelum cerita terlalu jauh, saya juga mau klarifikasi bahwa sejujurnya saya bukan anak yang alim alim banget. Masih banyak sekali akhlak dan ibadah saya yang harus diperbaiki. Pengalaman kuliah dan berbagai kegiatan kampus membuat saya menjadi orang yang yaah cukup toleran deh. Saya pernah bekerja/bermain dengan orang-orang dari beragam ras, suku, agama, usia, negara, dll. Jadi yaah menurut saya semua orang itu sama.
---------------------------------------------------------
Sore itu saya pulang dari Thamrin bersama teman saya. Kami memutuskan pesan mobil online karena sudah terlalu lelah untuk naik kereta. Saat membuka pintu mobil, di dalam sudah ada seorang ibu dan anaknya yang ternyata searah dengan kami. Baiklah.
Saya dan teman saya tipe yang senang mengobrol. Kebetulan, si ibu dan bapak supir juga tipe yang suka mengobrol. "Baguslah, perjalanan jadi engga sepi sepi amat", pikir saya.
Entah siapa yang pertama memulai obrolan, kami sampai pada topik '2 Desember ikut aksi damai lagi, engga?'.
Buat yang belum tahu, 4 November lalu baru saja diadakan aksi damai oleh suatu kelompok agama. Saya salut sih bahwa di hari itu sama sekali tak ada berita rusuh. Jalanan bersih, polisi dan pelaku aksi damai semua rukun. Well, kita anggap saja kerusuhan malam hari itu memang kerja suatu oknum tak bertanggung jawab.
Kembali ke topik pertanyaan, si ibu dan bapak supir ternyata menjawab dengan sangat pasti, "Tentu saja ikut dong!". Si bapak supir melanjutkan, "Kalau beneran muslim, pasti akan ikut aksi ini. Kita itu engga boleh diam saja ketika agama kita dilecehkan, dinistakan!". Si ibu juga engga kalah semangat bercerita, "Nanti tuh ya di tanggal 2 (Desember) itu, kata suami saya, akan ada solat jumat sepanjang jalan Thamrin. Duh saya mau banget ikut, tapi engga boleh sama suami. Jadi ya sudahlah, saya membela agama saya dengan cara memberi restu saja."
Saya berasumsi dalam hati, "Oh ternyata saya satu mobil dengan ibu dan bapak supir yang pandangannya berbeda dengan kami."
Saya pun whatsapp teman saya (tentu saja agar kami engga ketahuan si bapak supir dan ibu dong kalau kami oposisi :p):
"Di, ternyata kita satu mobil dengan bapak ibu yang beda pandangan dengan kita!"
"Iya nih, seru ya. Mau saya ajak ngobrol lebih dalam ah. Penasaran dengan sudut pandang lain."
"Duh dasar orang HR!"
Saya pun whatsapp teman saya (tentu saja agar kami engga ketahuan si bapak supir dan ibu dong kalau kami oposisi :p):
"Di, ternyata kita satu mobil dengan bapak ibu yang beda pandangan dengan kita!"
"Iya nih, seru ya. Mau saya ajak ngobrol lebih dalam ah. Penasaran dengan sudut pandang lain."
"Duh dasar orang HR!"
Lalu mulai lah teman saya ini menggali lebih dalam.
"Terus bagaimana menurut bapak tentang kasus salah satu calon gubernur itu pak?
"Ini tuh masalah penistaan agama, Mas! Kita sebagai muslim engga bisa tinggal diam. Apalagi dia cina! Kalau dia batak atau apalah, saya masih engga apa-apa deh. Toh masih pribumi seperti kita. Tapi ini dia cina! Dari dulu tuh emang cina bukan bagian dari pribumi dan engga pernah mengakui dia pribumi. Maka karena itu si cagub ini HARUS dihukum!"
"Ini tuh masalah penistaan agama, Mas! Kita sebagai muslim engga bisa tinggal diam. Apalagi dia cina! Kalau dia batak atau apalah, saya masih engga apa-apa deh. Toh masih pribumi seperti kita. Tapi ini dia cina! Dari dulu tuh emang cina bukan bagian dari pribumi dan engga pernah mengakui dia pribumi. Maka karena itu si cagub ini HARUS dihukum!"
"Hoo, begitu. Tapi bener engga sih pak, kata media prestasi si cagub ini udah oke?"
Si ibu menyahut, "Bohong itu! Semua media sudah dikuasai kristen! Kita itu jangan mau diinjak-injak dengan kedok toleransi."
"Hoo jadi yang pembangunan masjid, musholla, dan bantuan haji itu sebenernya media aja ya bu?"
"Iya betul! Dulu tuh ya, saya juga anti sama namanya F*I. Tapi setelah sekali ikut pengajiannya, yaampun ternyata semua media itu bohong. Di daerah saya tuh F*I ini lah yang memediasi pembuatan masjid-masjid. Dulu tuh dilarang banget bikin masjid karena maraknya kristenisasi. Makanya pas kemarin mau dibuat gereja di daerah saya, kami larang."
"Kita itu harusnya bersyukur ada F*I. Kalo engga ada, duh mau jadi apa Jakarta ini?"
Tidak berapa lama, kami sampai ke tujuan. Si bapak dengan sangat sopan menurunkan kami sambil berkata, "Maaf ya Mas, Mbak, kalau kalau saya kesannya ceramah/marah. Tapi saya merasa engga bisa diam aja, Mbak dan Mas ini jangan sampai tersesat."
----------------------------------------------------
Jujur, saya speechless. Engga tau harus berkata apa. Well, lebih tepatnya takut ikutan berargumen di pembicaraan yang super intens tadi sih. Di saat bersamaan, saya juga merasa sedih.
Saya sangat sangat paham bahwa setiap orang itu unik. Setiap orang itu berbeda. Seseorang berada pada sudut pandangnya saat ini pasti karena adanya suatu proses/pengalaman. Dan pastinya bagaimana seseorang menghayati pengalamannya itu engga ada yang sama. Karena itulah saya sangat menghargai perbedaan. Saya sangat menghargai pendapat bapak supir dan ibu ini. Saya pun berusaha memahami mereka.
Tapi jujur, saya kaget banget saat mereka terang-terangan membawa suatu ras. Seriously? Engga ada argumen lain? Yang lebih, well, logis? Saya cukup paham kalau ada orang yang kurang cocok karena perbedaan value. Value itu sesuatu hal yang sebenarnya bisa dibentuk sepanjang hidup. Termasuk agama, budaya, tradisi, you name it lah.
Tapi kalau ras? Duh emang saya bisa milih mau lahir dari rahim siapa? Ras itu sesuatu yang sifatnya mutlak, absolut, engga bisa diubah. Jadi menurut saya engga adil aja kalau ada orang benci dengan orang lain karena ras-nya. Ternyata di kota saya yang (katanya) metropolitan ini, masih ada ya orang rasis. Sekarang saya paham kenapa teman saya yang 'cina' se-ketakutan itu dengan adanya aksi damai kemarin. Karena ternyata masih ada beberapa orang yang menganggap teman saya ini bukanlah orang Indonesia. Oh well...
Mengenai kristenisasi media, saya engga mau berkomentar apa-apa sih. Karena saya pun juga sudah engga percaya dengan netralitas media. Pasti ada keberpihakannya. Dan saat ini sih saya memilih media yang satu pandangan dengan saya. Kebetulan juga circle saya di facebook hampir 70%-nya satu pemikiran dengan saya sih.
Bacaan dan circle pertemanan saya yang itu-itu aja membuat saya kurang percaya dengan organisasi yang diikuti si bapak supir dan ibu tadi. Ya saya percaya sih pasti organisasi ini juga berbuat baik. Dan kebetulan berita yang saya baca tentang mereka hanya yang buruk-buruk saja, yang kebetulan di-blow up media yang saya ikuti. I don't even want to try digging deeper on their organization. Saya cuma prihatin aja dengan pernyataan si ibu. Kalau dilarang bikin masjid, ya kenapa ngelarang orang bikin gereja? Takut kena brainwash kristenisasi, kenapa ikutan meng-islamisasi? Saya termasuk orang yang percaya bahwa urusan individu dengan Tuhannya itu urusan yang personal. Engga usahlah ikut campur. Kekuasaan Tuhan di alam semesta ini juga kayanya engga dipengaruhi oleh seberapa banyak pengikutnya.
---------------------------------------------------------
Call me apatis, sekuler, mata hati yang tertutup, you name it. Saya pun sedang belajar untuk lebih dapat menerima pandangan orang lain. Kalau kemarin engga ditahan teman saya, mungkin saya sudah diturunin di tengah jalan karena mulut saya yang pedas. Personally I feel grateful, having a chance to have a conversation with someone who has different perspective from me. I learned a lot.
Anyway, iya saya nulis ini memang pakai emosi. Sudah sumpek rasanya dengan isu-isu yang engga ada habisnya ini. Saya lebih value keharmonisan, kerukunan, toleransi antar umat beragama (ataupun yang tidak beragama), antar suku, antar ras, antar apapun perbedaan yang kita miliki.
Yuk ah, mari urusin diri sendiri dulu
sebelum ngurusin orang lain.
Waduh, lumayan serem ya mbak kalo udah berurusan langsung sama yang 'fanatik' :(
ReplyDeletetrus yang bikin ngebatin lagi itu title "munafik" buat muslim yang ga mau ikut aksinya. Bahkan ada yg bilang "kafir". Like, kayaknya mudah banget gitu mengkafirkan orang sekarang :')
Tapi ikut salut sih bagi mereka yang murni tergerak karena kesalahan Ahok, bukan karena Cinanya atau agamanya.
Halo Audia!
DeleteIya, saya akui emang ibadah saya pun masih berantakan sih. Tapi yaa rasanya sakit hati juga dibilang bukan muslim yg bener ketika engga ikutan aksi. Rasanya pengen teriak, yauda sekalian gausa ibadah aja deh kl cuma krn ga ikutan aksi trs dibilang muslim yg ga bener :(
Yah, semoga saja memang demo kmrn didominasi orang yg ingin agar Pak Ahok lbh berhati2 dlm berbicara ya. Bukan golongan yg kelewat sentimen sama ras dan agama orang lain. :)
sama banget sumpek liat media yg isinya saling merendahkan satu sama lain. mungkin kalo pendapat gua lebih ke perilaku pak ahoknya yg salah karena ngebawa2 al maidah dan wajar karena hal itu banyak yg sakit hati tapi kalo dilihat dari sudut pandang yg lain itu adalah bentuk defense pak ahok yang ngerasa terganggu karena sebagian oknum menyalahgunakan al maidah sebagai wadah untuk menyerang pak ahok as personal.
ReplyDeletebelom lagi black campaign yg semakin menyebar dimedia sosial. andai saja semua paham, kalau campaign itu harusnya mengangkat fakta2 positive dari si paslon bukan malah mengangkat isu2 negative dari paslon yg lain.
loh lakok malah keranah politik hehe